Cerita dan Ulasan Terselip dari Jalan-Jalan

Bepergian ke klub ajeb-ajeb yang menyuguhkan house musik, kini kian mewabah dan menjangkiti para maniak clubber. Ada yang datang sekedar untuk menikmati musik, menikmati keceriaan, bergaul, atau hanya gaya-gayaan saja alias gengsi. Berpakaian serba putih dipadu rok span berbahan jeans , dua perempuan muda mendekati panggung tempat para DJ (disc jockey) beraksi. Berjalan menuju ke sana, tubuh mereka bergoyang pelan. Namun, sejurus kemudian, keduanya lantas mengangkat kedua tangan. Terdengar teriakan kecil, namun tertelan suara riuh musik. Mereka lalu bergoyang dengan kencang, mengikuti irama musik house beraliran progresif. Sementara di belakang kedua perempuan itu, puluhan orang ikutan bergoyang sambil mengangkat tangan ke atas. Satu dua di antaranya sambil mengangkat botol bir sambil berteriak, "Ampun DJ...” Cerita di atas adalah sedikit gambaran suasana tempat hiburan malam dengan tingkah polah partygoers. Warna-warni permainan sinar laser cepat membuat suasana kian panas. Malam larut, bahkan menjelang dini hari pun tak terasa. Pengunjung yang mengenakan dress code putih, menikmati malam dengan suasana happy. Melupakan persoalan dan kesibukan setelah, mungkin sibuk bekerja atau kuliah selama sepekan. Clubbing bukan hanya melanda Jakarta, namun juga hinggap ke kota-kota besar seperti Surabaya, Semarang, Jogjakarta, hingga kota dingin Malang. Gaya hidup ini mulanya berjalan lambat, tapi dalam lima tahun terakhir melejit cepat. Hal ini ditandai dengan berdirinya banyak klub baru. Juga penyelenggaraan pesta, mulai dari rave party yang hanya terdiri atas puluhan orang sampai ratusan orang yang diselenggarakan sebuah klub malam. Fenomena ini tentu tak disia-siakan sponsor untuk menancapkan citra. Maka, lihatlah, beragam tempat ajeb-ajeb menggelar party dengan beragam sponsor, mulai minuman hingga rokok. Gaya hidup clubbing yang didorong oleh makin populernya house music sebagai pengganti disko. Sekitar tahun 1998, saat penulis awal kuliah di Malang, perkembangan clubbing masih terasa lambat. Walau begitu, musik house sudah banyak penggemarnya. Namun saat itu musik clubbing identik dengan citra negatif. Maklum, pil ekstasi mulai masuk ke Indonesia. Pil yang bisa mendorong euforia itu bagi sebagian orang hanya klop dikonsumsi dengan iringan musik house. Fenomena ini mendorong makin banyak orang mendatangi diskotek, untuk mendengarkan musik house. Istilah fly, tripping, atau lagi on mulai muncul. Tidak heran, sebab, mengkonsumsi ekstasi katanya mampu menstimulasi seseorang menyatu dengan musik house. Tempat hiburan yang menyuguhkan musik ini pun semakin menjamur. Sekarang dugem tak lepas dari kilatan lighting effect yang gemerlap dan gemuruh sound music disco. Bahkan, tak jarang DJ yang ditampilkan pun impor dari luar. Ya, musik ajeb-ajeb di tempat dugem memang sudah mewabah. Dunia gemerlap kehidupan malam alias dugem memang dari dulu selalu identik dengan citra gelap. Alkohol, narkoba, dan seks bebas adalah tiga hal yang selalu disandingkan bersama dengan dunia pesta dan dansa-dansi. Pandangan negatif bukan tanpa alasan. crowd yang sengaja datang ke diskotek untuk mendengarkan house music, hampir dapat dipastikan selalu berakhir mabuk atau sakau oleh berbagai jenis ekstasi yang “beredar” bebas. Bahkan pandangan tentang house music hanya bisa dinikmati sambil tripping bukan isapan jempol. Keadaan di Indonesia memang sudah mulai berubah. Banyak crowd Indonesia yang datang ke sebuah pesta di klub untuk benar-benar menikmati musik yang dimainkan DJ favoritnya. Saat ini, membersihkan citra musik house dan dunia clubbing Indonesia itu yang menjadi misi ouwner tempat hiburan malam, dan belakangan sudah mulai tampak. (Namun upaya ini sedikit “tercoreng” dengan tertangkapnya pemilik klub malam yang berinisial F beberapa hari yang lalu. Pemilik klub malam yang saya tulis bersambung pada edisi 3 itu tertangkap saat pesta shabu-shabu di rumah mewahnya di kawasan Jalan Ijen). Para pengunjung party amat jarang yang mabuk drug, paling hanya sebatas bir, atau minuman red label saja. Kini, keadaan telah berubah. Rave party bukan lagi sekadar ajang pesta gila-gilaan dan kampungan dengam bergoyang tak tentu arah karena sebelum datang mengonsumsi pil estasi atau narkoba. Tetapi, banyak yang datang memang demi menikmati sebuah sajian musik yang mampu menggembirakan hati, melupakan persoalan, dan sekalian berolahraga. Termasuk Andakah? Kalau saya iya………Wassalam. (Agus C.Winardi / Prawoto)